Monday, December 22, 2014

Eksistensi Perhiasan Logam Khas Sumatra Barat



Perhiasan etnik Indonesia yang dibahas kali ini adalah Sumatera Barat. Sebagai salah satu provinsi yang terletak diantara wilayah utara dan selatan, motif perhiasan daerah Minangkabau sangat terpengaruh pada sekitarnya. Desain kalung Gajah Minong yang unik merupakan keunggulan dari model Sumatra Barat masih digemari sebagian orang hingga saat ini. Bagaimana kisah perkembangan para pengrajin emas di Sumatera Barat, berikut ceritanya :

Sumatera Barat memiliki
kandungan emas yang jauh lebih banyak dibandingkan bagian selatan. Keruntuhan Sriwijaya sebagai kesatuan wilayah politik abad ke-13 memunculkan kerajaan-kerajaan kecil seperti Minangkabau tumbuh. Daerah-daerah Sumatera Barat mulai muncul. Raja Majapahit yaitu Adityawarman (1347-1379 M) yang beragama Buddha hendak membangun ibukotanya dari emas di pegunungan barat setelah melakukan negosiasi dengan kepala suku setempat. Kehadirannya memberikan kontribusi langsung mengenai Jawa meski hanya sejenak. Istana Minangkabau bertahan sampai awal abad ke-19, lebih mengedepankan otoritas mistis dan moral ketimbang kekuatan militer. Pada dasarnya masyarakat disana sangat terikat oleh sistem yang kuat dari hukum adat dan tradisi.

Kalung motif Gajah Minong (kiri) dan Tiger Claw/Kuku Macan (kanan)
khas Sumatra Barat koleksi Dian Art

Minangkabau terkenal dengan kerajinan emasnya yang sangat baik, terutama kerawang, yang mendapat pujian dari William Marsden (1811: 141),

".. Karena tidak ada manufaktur di bagian dunia ini, yang lebih
mengagumkan dan fantastis dari emas dan perak kerawang halus buatan Sumatera. "

Marsden mengacu pada perhiasan yang tersedia di pantai, namun perhiasan Minangkabau juga terdapat di Pariaman dan Padang. Emas bunga kerawang dan elemen dedaunan berasal dari perbukitan Agam
pedalaman untuk perakitan, kemudian diekspor oleh pedagang Aceh. Beberapa tukang emas kaya banyak membutuhkan satu set perlengkapan yang komplit untuk terus bertahan dengan buatan mereka sendiri. Pada akhir abad ke-19, 347 tukang emas sedang bekerja di Kota Gedang di dataran tinggi dan persaingan cukup ketat. Permintaan untuk perhiasan masih kuat, karena menurut catatan pertengahan abad ke-19, perempuan dan laki-laki Minangkabau dalam berpakaian memerlukan jumlah 22 dan 17 untuk tiap-tiap ornamen.

Keahlian pengrajin emas Sumatera Barat diyakini diperoleh dari pengrajin Kekaisaran Ottoman yang dikirim ke Sumatera untuk membantu Aceh pada abad ke-16. Aceh menguasai tambang emas di Sumatera Barat pada periode itu, dan kemungkinan beberapa orang Turki telah menetap di tanah Minangkabau. Suatu jenis ikat putaran manik emas yang dikerjakan secara halus dengan motif spiral ganda masih disebut "Manik Turki" di Sumatera Barat. Manik-manik yang halus pada saat itu ditempa oleh tukang emas Istanbul.

Pengaruh India juga memberikan kontribusi terhadap evolusi teknik perhiasan dan gaya. Sebuah koloni selatan India
, yaitu Hindu Chettiars,  merupakan spesialis dalam perdagangan emas dan perhiasan emas yang menduduki pusat komersial dan politik mereka sendiri. Wujudnya hampir menyerupai kerajaan di dekat tambang emas dari Kabupaten Tanah Datar dari abad ke-11 hingga ke-13, dan dalam cerita Minangkabau Melayu mengemukakan tentang keluarga dan institusi desa yang masyarakatnya berasal dari Dravida dan Sansekerta. Bentuk jimat perhiasan seperti cakar harimau emas   dan caping timbul dikenakan oleh gadis-gadis kecil dan diperhatikan oleh Marsden selama kunjungannya ke Minangkabau pada akhir abad ke-18 yang jelas tampak berasal dari model India, baik secara langsung atau melalui Sriwijaya.

Gaya perhiasan yang berbeda berkembang di masyarakat Minangkabau. Kalung dan gelang terdiri dari kotak emas berongga dan manik-manik karang yang dibuat di desa bukit Payakumbuh merupakan model awal Minangkabau. Keistimewaan lain dari Payakumbuh adalah gelang emas yang besar pengantin dengan pola pisang menembak dan kisi batu rubi kecil atau manik-manik kaca merah diatur dalam resin. Gelang besar pengantin dan kipas berbentuk mahkota dibuat di Sungai Puar dekat Bukittinggi, juga daerah perbukitan. Kota Gedang yang letaknya juga dekat dengan Bukittinggi telah lama terkenal karena keindahan manik-manik kerawang dan kalung. Perempuan di daerah Solok mengenakan kerah panjang beludru hitam dihiasi dengan bunga-bunga emas dan plak dengan daun dan tanduk motif sebagai bagian dari upacara adat.

Variasi gaya dan teknik muncul dari aliran Sriwijaya
dan dengan pengaruh Turki dan Aceh yang kontras. Di dataran tinggi sekitar Kota Gedang, misalnya, kalung dengan motif makara (Hippocampus) disebut dukah kuda-kuda (kalung kuda laut). Kuda laut ini sangat abstrak dan antara tumbuh daun maupun bentuk tanduk, semua dihiasi dengan terapan kerawang dan granulasi dengan hati-hati. Versi ini sangat mirip dengan kalung gajah Minong (gajah Minangkabau) yang dipakai di Negeri Sembilan, yaitu kerajaan Minangkabau yang didirikan pada abad ke-15 di semenanjung Melayu. Sebaliknya, di desa-desa pegunungan lainnya elemen kalung kuda laut timbul dan mudah diidentifikasi serta menunjukkan kedekatan dengan orang-orang dari Sumatera Selatan.

Lilitan dan campuran pola lengkung yang digunakan oleh tukang emas Minangkabau berbeda dari mereka yang bekerja di selatan dan di Aceh di utara. Aturan dan pola desain perhiasan yang mirip dengan ukiran pada panel rumah dan ditenun menjadi tekstil. Beberapa model didasarkan pada bentuk tanaman abstrak dan lain-lain yang lebih geometris. Kombinasi rumit tanaman dan motif geometris yang terkandung dalam batas-batas antara yang paling umum adalah pola "rotan terjalin"(saluak laka), yang digunakan pada wadah tembakau dan melambangkan kekerabatan abadi. Motif lainnya termasuk "pakis gulir", "menembak bambu", "bunga manis", "tupai kaget", dan "kucing tidur" dalam berbagai kombinasi, masing-masing pola menandakan nilai-nilai sosial tertentu. Desain gesper dengan ukiran dan keindahan yang luar biasa adalah bukti kerapian dari para pengrajin.

Perhiasan Sumatera menampilkan estetika dan simbolis ketegangan antara tradisi Hindu-Buddha, teknik Islam
, gaya dekoratif, dan tradisi kuno. Sementara ada kesinambungan umum antara gaya perhiasan di seluruh pulau. Perbedaan dapat ditemukan dalam karakteristik dari perhiasan masing-masing daerah. Pengaruh dari selatan dan Aceh di utara digabungkan untuk memproduksi gaya khas Minangkabau, yang akan menjalani evolusi lebih lanjut ketika sebagiaan tukang emas dari Sumatera Barat bermigrasi ke Sulawesi di abad ke-16.

Sumber : Gold Jewellery of The Indonesian Archipelago oleh Anne Ritcher and Bruce W. Carpenter

No comments:

Post a Comment